Sesuai jadwal KPU, awal Agustus 2018 mendatang
pasangan capres-cawapres harus sudah didaftarkan. Praktis tinggal empat
setengah bulan lagi. Nah, yang paling pusing nampaknya Jokowi, sang Petahana.
Mengapa? Menurut saya ada 3 faktor.
Pertama, diduga kuat cawapres yang dikehendaki
harus mendapatkan restu Megawati. Akal sehat mengatakan demikian. Mungkin itu
juga "deal" Jokowi dengan Megawati sebelum PDIP resmi mencalonkan
kembali Jokowi di Bali beberapa saat yang lalu. Jadi tidak leluasa bagi Jokowi.
Kedua, hampir pasti partai-partai pengusung
Jokowi meminta jatah cawapres. Ini tentu tak mudah memutuskannya. Apalagi
Jokowi bukan ketua partai. Jika ada partai yang sangat kecewa lantaran tidak
dapat bagian yang penting, partai tersebut bisa balik kanan dan bikin koalisi
lain.
Ketiga, yang paling tidak diharapkan Jokowi
adalah apabila cawapres yang direstui Megawati, atau katakanlah yang disepakati
oleh partai-partai pengusung, justru bukan itu yang dikehendaki Jokowi. Kalau
itu terjadi, siap-siap Jokowi "makan hati" selama 5 tahun ke depan.
Sepertinya tak mudah dan bikin stress. Mungkin
agak beda dengan ketika SBY memilih cawapresnya dulu. SBY, meskipun bukan Ketua
Umum Partai Demokrat, praktis ia yang menentukan dan mendapatkan mandat penuh
dari partai untuk memilih pendampingnya. Di samping itu, baik pilpres 2004
maupun pilpres 2009, Demokrat bisa mencalonkan sendiri capres &
cawapresnya. Baik Jusuf Kalla maupun Boediono, sepenuhnya adalah pilihan SBY
sendiri.
Informasi yang beredar cukup banyak. Termasuk
siapa-siapa yang disukai Jokowi dan sedang dilirik untuk dijadikan pasangannya.
Juga yang sebaliknya, yang nampaknya Jokowi alergi untuk menerimanya. Sekalipun
sosok itu dekat dan bahkan mungkin itu pula yang disodorkan Megawati.
Versi PDIP, entah resmi atau tidak, entah benar
atau penyesatan, ada yang masuk "long lists", "short
lists" dan "priority lists". Siapa mereka, mungkin
tak banyak yang tahu. Tetapi, cerita tentang daftar nama yang digarap oleh PDIP
itu, kalau itu benar adanya, menunjukkan bahwa Megawati masih sangat dominan
dalam menentukan pasangan Jokowi di pilpres 2019 mendatang.
Versi lain yang sempat beredar di kalangan
tertentu, konon ada 4 nama yang tengah "digodok" oleh Jokowi. Empat
nama itu digolongkan yang tua, yang setengah baya dan yang muda. Yang tua
disebut-sebut Wiranto, yang setengah baya adalah Sri Mulyani dan Airlangga
Hartarto, dan yang muda Agus Harimurti Yudhoyono. Kalau informasi ini benar,
cukup menarik. Masing-masing sosok punya kelebihan dan kekurangannya. Tentu
juga pro dan kontranya.
Kalau yang menjadi penentu akhir adalah Megawati,
seperti halnya dalam pilpres tahun 2014 dulu, hampir pasti AHY akan diveto
(ditolak) oleh Megawati. Padahal, dari segi elektabilitas AHY-lah yang paling
tinggi dari keempat tokoh itu. Terlebih di kalangan generasi milenial yang
jumlahnya sekitar 100 juta, atau sekitar 50 % dari total pemilih. Tidak berarti
tiga nama yang lain aman. Bisa saja Megawati menginginkan orang lain.
Yang mungkin benar-benar memusingkan Jokowi
adalah kalau misalnya Airlangga Hartarto tidak dipilih, dan kemudian Golkar
balik kanan, maka Jokowi bisa kehilangan satu pilar pendukungnya. Jika pula AHY
tidak dipilih, dan kemudian tokoh muda yang sedang "rising" itu
berpasangan dengan kandidat lain, Jokowi bisa menghadapi lawan yang tangguh.
Tentu situasi begini tak dikehendaki Jokowi. Logika politik mengatakan mengapa
dalam Undang-Undang Pemilu ditetapkan PT 20 % karena ingin membatasi jumlah
pasangan calon. Orang-orang di sekitar Jokowi menskenariokan Jokowi kembali "head-to-head"
dengan Prabowo. Mereka yakin Jokowi akan menang lagi, bahkan dengan suara yang
jauh lebih besar. Belakangan terdengar pula gerakan untuk menjadikan Jokowi
sebagai capres tunggal. Artinya berhadapan dengan bumbung kosong. UU Pemilu-pun
sudah dipersiapkan pasal-pasal yang mengaturnya.
Pusing tidak pusing, Jokowi tengah dikejar
"deadline" untuk menentukan cawapresnya. Mudah-mudahan Jokowi tidak
salah hitung. Elektabilitas Jokowi meskipun saat ini yang paling kuat, tetapi
sebagai petahana belumlah aman. Lebih aman posisi SBY dulu sebelum pilpres 2009
dilaksanakan. Ditambah lagi, politik itu tetap cair dan dinamis. Masih sangat
mungkin terjadi perubahan koalisi menjelang awal Agustus 2018 mendatang.***
Sumber : https://www.kompasiana.com/basvfdfscfas/terbayang-pusingnya-jokowi-tentukan-cawapres_5aa89530cf01b426eb71f052
Tidak ada komentar:
Posting Komentar